Di Perkampungan Penuh Gang
"Permisi
Bu, permisi Pak," itu kata yang setiap hari saya ucapkan di sepanjang
perjalanan dari tempat kost menuju kampus. Belum lama
kebiasaan mengucapkan permisi itu saya jalani. Kurang lebih dua bulan lalu saat pindah nge-kost. Saya sebelumnya ngontrak di sebuah perumahan yang
tak jauh dari tempat kost saya sekarang. Kebiasaan permisi itu pertama
terasa mengganggu, risih, ribet, tapi ya seperti ini. Sadar kalau hidup di
perkampungan dengan gang-gang yang banyak dan sempit memang harus membudayakan permisi. Ini perlu dilakukan karena sebagai sebuah bentuk rasa hormat dan
sopan santun kita. Dengan mengucapkan permisi, berarti kita menghormati
seseorang yang permisi itu kita tujukan padanya.
Sepele
memang, tapi lihatlah dengan mengucapkan permisi, seseorang menjadi ramah pada
kita, dengan permisi kita juga beribadah, berupa seulas senyum kepada orang
lain dan orang lain pun begitu. Permisi itu saya ucapkan tiap hari, sambil
menyusuri gang kecil, berkelok, kumuh. Tapi disana saya melihat sesuatu,
kehidupan. Kehidupan yang beragam, mulai dari orang pinter, kurang pinter,
orang kaya, kurang kaya, pedagang, pemulung, masih banyak lagi. Hidup di tengah
perkampungan dengan gang-gang yang menyajikan aneka warna dan rasa kehidupan.
Suatu
hari, ketika dengan biasa saya ucapkan permisi kepada ibu-ibu yang sedang
berkumpul di depan sebuah rumah, saya menundukan kepala sambil tersenyum, lalu
“permisi Bu...” dan duk! Kepala saya terantuk sebuah atap rumah yang
memang sangat rendah, “hati-hati mas” sambil cekikikan para ibu-ibu itu
memperhatikan tingkah saya yang malu-malu sambil senyum kanan kiri dan menggaruk
kepala (yang sebenarnya tidak gatal). Yang terfikirkan saat itu, sejak
kapan atap rumah menjadi serendah itu? bikin orang malu aja!
Cerita
lain lagi, saat itu saya sedang terburu-buru karena terlambat 15 menit untuk
masuk kuliah, dan ada 2 anak kecil yang berlari-lari di sebuah gang yang saya lewati, anak kecil itu berusia
sekitar 6 atau 7 tahunan yang tingginya kira-kira sepinggang orang dewasa, saya
berjalan setengah berlari dan terlihat tak jauh di depan saya dua orang wanita
berkerudung, yang kemungkinan besar nge-kost di sekitar tempat kost saya, dan
tiba-tiba, Buukk!! Anak kecil yang tadi berlari, menabrak saya tepat mengenai
bagian sensitif laki-laki, segera saja saya mengaduh dan meringis kesakitan. Dua wanita yang tadi agak jauh dari saya kini berpapasan dengan saya yang sedang
memegang bagian sensitif itu karena refleks. Parahnya mereka ikut meringis, mereka
mengejek atau merasakan sakit yang saya rasakan? Entahlah. Anak kecil yang
menabrak saya tadi dengan rasa tidak bersalah, lari begitu saja sambil cekikikan.
Tiba-tiba saja saya berfikir, kenapa mereka tak seumuran dengan saya, kalau saja
begitu sudah saya balas perbuatan mereka. Ngilu rasanya!
Itu
sedikit pengalaman bagaimana hidup di tengah perkampungan dengan
banyak gang-gang sempit. Dua bulan saya hidup di perkampungan ini, sudah
mendapatkan pengalaman agak pahit. Tapi menyenangkan, bisa hidup begitu dekat
dengan berbagai macam orang dengan berbagai tingkah lakunya pula.
***
Tulisan unyu dan religius ini lahir dua tahun lalu. Sempat mau dimuat oleh sebuah media remaja, tapi tak saya perbolehkan. Entah apa alasan yang saya gunakan waktu itu, sudah lupa.
***
Tulisan unyu dan religius ini lahir dua tahun lalu. Sempat mau dimuat oleh sebuah media remaja, tapi tak saya perbolehkan. Entah apa alasan yang saya gunakan waktu itu, sudah lupa.
Komentar
Posting Komentar