Bu Lara Bercerita Kematian
“seseorang selama empat puluh hari sebelum ia meninggal, maka akan berperilaku sangat aneh, atau orang-orang disekitarnya juga mendapati hal-hal aneh yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam hidup mereka” Ujar salah seorang kawan saya.
Cerita ini dari
kerabat saya.
Kerabat saya ini perempuan, dan dia memiliki dua anak. Anak kandungnya hanya
satu, berjenis
kelamin laki-laki, serta yang satunya lagi adalah anak hasil adopsi, berjenis
kelamin perempuan. Kisah yang akan saya ceritakan adalah kisah anak pertama
kerabat saya ini. Sebelumnya, nama kerabat saya ini Bu Lara dan anak
laki-lakinya bernama Bambang, sebut saja begitu. Ada
kisah menarik dari perempuan lima puluhan tahun itu. Bu Lara menceritakan
tentang Bambang. Tentang kisah Bambang sebelum dia dipanggil Tuhan.
Saat itu saya tengah di rumah bu Lara, saya kesana karena Bu Lara baru saja
pulang dari rumah anaknya. Bu Lara menceritakan
kehidupan anaknya sebelum kejadian naas merenggut nyawa Bambang. Di ceritakan, Bambang
bekerja sebagai penjual buah, dia pengepul. Awalnya dia hanya penjual buah
biasa, dia berjualan mengunakan motor miliknya dan membawa keranjang besar yang
diatur sedemikian rupa hingga dapat diletakkan di bagian belakang motor
miliknya itu. Bambang ini terkenal jujur di kalangan penjual buah dan pengepul,
berapa pun buah yang diambilnya dari seorang pengepul, dapat terjual hingga
habis dalam sehari. Ketekunan dan kejujurannya menjadi pedagang, mengantarnya
menjadi orang yang (bisa dikatakan) sukses. Saat ini dia bisa menyekolahkan
kedua anaknya dan memiliki sebuah mobil. Mobilnya ini jenis bak terbuka dan
digunakannya untuk mengambil pasokan buah-buahan dari luar kota, yang nantinya
ia jual lagi. Bambang tidak pernah bepergian sendiri ke luar kota untuk
mengambil pasokan buah. Dia selalu ditemani orang-orang yang bekerja untuknya,
bahkan jarang dia mengambil buah itu, orang-orangnya lah yang selalu mengambil
dagangan dari kota satu ke kota lainnya.
Bambang tinggal bersama istri dan anaknya di sebuah kota. Suatu saat,
Bambang mengambil pasokan buahnya sendiri. Pada waktu itu tengah libur, satu
hari menjelang perayaan hari besar umat islam. Para pekerja Bambang, semuanya
libur untuk menyambut maulid Nabi Muhammad yang akan berlangsung satu hari
lagi. Akhirnya, pada pagi hari Bambang pergi ke kota tempat ibunya tinggal, Bu
Lara. Namun Bambang ini tidak singgah di rumah ibunya, dia bertamu ke tempat
penjual buah yang sering mengambil pasokan buah kepadanya. Dia bersama istri
dan dua anaknya. Setelah dari rumah penjual buah tadi, Bambang pergi ke pusat
perbelanjaan. Disana ia membelikan anaknya pakaian, istrinya pun tak lupa ia
belikan juga. Bambang juga membeli beberapa potong celana dan kaos untuk dirinya
sendiri. Istrinya bertanya pada saat itu “mas, ngapain kita beli baju baru?,”
Bambang pun menjawab “besok kan Maulid Nabi, hari libur. Jadi anak-anak kita
belikan baju baru, biar besok kita tidak usah repot-repot belanja lagi”.
Istriya bertanya seperti itu, karena apa yang dilakukan Bambang diluar
kebiasaan, biasanya mereka hanya setahun sekali berbelanja pakaian, yaitu saat
menjelang hari raya Idul Fitri.
Setelah selesai berbelanja, Bambang sekeluarga pulang ke rumahnya. Dari
rumah semua belanjaan diturunkan dari mobil. Setelah semua diturunkan,
sekeluarga mencoba pakaian yang sudah di beli. Ternyata Bambang juga membeli
beberapa helai selendang batik, atau orang jawa menyebutnya Jarik. “Mas, nyapo tuku jarik barang? (Mas, kenapa beli jarik juga?) ” tanya istri Bambang. “Lho
jarno wes, wong mati iku kan di jarik’i seh (biarin, orang mati itu kan
juga di jarik’i (ditutupi selendang
batik seluruh badan si mati))” Begitu jawab Bambang. Obrolan itu terasa biasa
saja.
Sore harinya, Bambang berangkat menuju ke sebuah
kota yang tak terlalu jauh dari kota tempat tinggalnya. Bambang berangkat
mengenakan pakaian yang baru dibelinya tadi pagi. Bambang berangkat sendiri
tanpa ditemani pekerjanya. Di tengah perjalanan mengambil barang dagangan itu,
hujan lebat beserta angin kencag tiba-tiba saja turun, jalanan yang dilalui
Bambang sangat rawan kecelakaan. Mulai dari jalan yang berlubang, banyaknya
tikungan tajam dan minimnya penerangan di malam hari. Bambang terus melaju
dengan mobilnya, hingga dia sampai di sebuah tikungan dan mobilnya kehilangan
keseimbangan, lalu kecelakaan pun tak terhindarkan.
Saya tidak ingat betul tentang cerita kronologis
kecelakaan yang menimpa Bambang. Namun menurut cerita Bu Lara tadi, setelah
kecelakaan terjadi, ambulan segera datang dan Bambang masih sempat berjalan
sendiri untuk menaiki ambulan itu. Segera saja Bambang di bawa menuju rumah
sakit terdekat. Saat abulan telah sampai di pelataran rumah sakit, istri
Bambang sudah menunggu. Saat keluar dari ambulan dan Bambang didorong oleh
petugas rumah sakit menuju ruang ICU, istrinya terus saja menangis sambil
memegangi tangan Bambang. Dan pada saat itu, Bambang mengucapkan kata
terakhirnya “Dek, aku wes ora kuat. (Dik,
saya sudah tidak kuat)”. Setelah itu
Bambang mengalami koma, hingga akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir.
Cerita
di Rumah Bambang
Rumah Bambang sudah ramai para pelayat, Bu Lara
beserta suami juga sudah datang, mereka siap mengantar anaknya hingga
peristirahatan terakhir. Anak Bambang terus saja menangis disamping jasad
ayahnya yang tertutupi kain jarik
yang baru dua hari lalu di beli oleh Bambang. Istrinya terlihat tegar, dia tak
menangis. Istri Bambang mencoba ramah kepada setiap tamu dan kerabat yang
datang degan mengumbar senyum pada mereka. Sesekali istri Bambang menenangkan
anak gadisnya yang menangisi kepergia bapaknya, anak kedua Bambang yang masih
kecil, tak tahu apa yang sedang terjadi. Dia hanya bermain di luar rumah
bersama anak tetangga.
Ibu Bambang juga terlihat tegar, dia tak meratapi
kepergian anaknya. Namun itu sesaat sebelum para teman sejawat Bambang
menceritakan segala tentang Bambang. “Bu, Bambang itu baik. Dulu saat jadi anak
buah saya, dia itu jujur, setiap buah yang dijual Bambang selalu habis. Uang
setoran juga tidak pernah kurang,” Ujar kawan Bambang yang dulunya adalah bos
ambang. Teman Bambang yang lain juga bercerita, “Bambang itu orang baik bu,
pak. Saya pernah dipinjami uang untuk membayar SPP anak saya. Saya minjem lebih dari enam bulan, dan Bmbang
tidak pernah menagih bu. Katanya, kalau sudah punya uang lebih saja silahkan di
kembalikan”. Tiba-tiba saja bu Lara terisak, menangis dan mengenang anaknya.
Dia teringat saat dulu masih merawat Bambang, menyuapinya makan, menyekolahkan
Bambang, membelikannya sepatu, teringat saat Bambang sungkem kepadanya di hari
raya, membelikannya baju. Ingatan-ingatan tentang anaknya terus saja muncul,
tapi tetap saja dia mencoba tetap tegar.
Keluarga saya juga baru saja datang saat jasad
Bambang akan dimandikan, Ibu, bapak, kakak perempuan serta kakak laki-laki saya
sudah berada di rumah Bambang. Kebetulan saat itu saya di telfon oleh kakak
laki-laki saya untuk di ajak ke rumah Bambang. Saat itu saya tengah ada acara
di kampus yang tidak bisa ditinggalkan. Saya berniat untuk berangkat sendiri ke
rumah Bambang, tapi kata kakak saya tidak perlu, “jaga rumah saja, nenek
sendirian” begitu katanya di ujung telfon. Di rumah Bambang, kakak laki-laki
saya ikut memandikan Jasad Bmbang. Saat memandikannya, kakak saya mengamati
tubuh Bambang, dia melihat mata kanan Bambang yang lebam, berwarna kebiruan.
Lalu dia melihat di leher Bambang bagian belakang sebelah kanan, ternyata juga
lebam.
Prosesi memandikan jasad Bambang telah selesai,
kakak laki-laki saya sempat bercerita kepada istri Bambang perihal apa yang
dilihatnya, lalu istri Bambang menjelaskan kepada kakak laki-laki saya, “Iya,
mas Bambang terbentur di kepala bagian belakangnya. Itu berimbas pada otak
kirinya dan mengakibatkan matanya lebam dan membengkak. Ini yang menyebabkan
mas Bambang meninggal”.
Cerita
dari kerabat
Bu Lara terus menceritakan perihal kematian
anaknya. Di tengah ceritanya lalu dia ingat cerita keluarga istri Bambang.
Keluarga dari istri Bambang ini bermimpi, yang menurutnya mimpi itu aneh. Bu
Lara mendapatkan cerita ini saat di rumah Bambang. Dalam mimpinya, keluarga
istri Bambang ini melihat Bambang sedang menebang pohon pisang yang masih muda.
Lalu dia memperingatkan Bambang “pohon pisang masih muda kok di tebang to le?”. Lalu kerabat Bu lara juga
memimpikan hal yang sama. Bu Lara mendapatkan cerita dari kerabatnya ini
seminggu sebelum kepergian Bambang, setelah bermimpi seperti itu, kerabat bu
Lara menelfon dan menceritakan perihal mimpinya itu kepada bu Lara “Bu, saya
kemarin kok mimpi tidak enak ya? Saya mimpi anaknya sampean nebang pohon pisang yang masih muda” begitu kata kerabat bu
Lara saat menelfonnya. Waktu itu bu Lara tak merasakan keanehan apapun, dia
merasa itu hanya mimpi biasa.
Bu Lara saat ini hanya bisa berdo’a untuk anaknya
yang sudah tiada. Dia sempat berujar di akhir cerita “Ngenes aku, orang tua kok menguburkan anaknya sendiri, seharusnya
dia yang menguburkan saya nanti”. Bu Lara menyudahi ceritanya, dia lelah, ingin
beristirahat. “Saya capek, seminggu di rumah Bambang, orang nyelawat gak habis-habis. Saya mau
mandi, terus tidur”
***
Saya memanggilnya pakde, beliau tutup usia pada
Januari lalu. Yang di khawatirkan bu Lara saat ini, dia akan sulit bertemu
cucu-cucunya, karena istri Bambang tidak berani berjalan jauh serta hubungan
istri Bambang dengan bu Lara kurang begitu baik, jarang sekali Bambang
mengunjungi bu Lara dengan istrinya. Setiap kali mengunjungi ibunya, Bambang
lebih sering sendiri.
Semoga dosa-dosa pakde diampuni dan mendapatkan
tempat yang layak di sisiNya.
Komentar
Posting Komentar