Arjuna Mencari Terang (sebuah serpihan dari yang panjang)
“Aku
banyak disebut sebagai ksatria, namaku diartikan sebagai “sinar terang”. Aku adalah
keturunan kuru yang terbaik, hingga julukan Kurusetha diberikan
padaku. Akulah manusia pilihan yang mendapat Bhagawadgita atau nyanyian
dewata, wejangan suci dari Kresna. Aku Arjuna, anak ketiga Kunti dari Indra,
pemimpin para dewa”.
Tiba-tiba
saja dia membayangkan dirinya sebagai Arjuna. Bukan Arjuna dengan semua
kesempurnaan yang pernah manusia-manusia itu dengar, Arjuna ringkih yang hanya
bisa terbawa dalam kepuasan malam yang sunyi, hingga bintang melirik heran
karena senyumnya yang memuakkan. Dibawah pohon mangga ia menyandarkan diri,
merenungi semua yang pernah ia lihat tentang sosok Sumarti yang membuat hatinya
berguncang.
Dia
kini larut dalam imaginasi lagi. “aku adalah Srikandi, wanita ksatria yang akan
menaklukan hati setiap lelaki. Aku bukan wanita yang menangis ketika terluka,
aku melawan keterlukaan itu, aku adalah wanita yang kuat” bayangan Surti
tergambar sebagai sosok Srikandi yang menenteng panah dan busurnya.
Arjuna
yang ada dalam bayangnya bukanlah pria yang cocok dengan type wanita seperti
Shinta, Arjuna yang ia bayangkan adalah pria yang akan hidup bahagia dengan
seorang wanita tangguh layaknya Srikandi.
“Darman!!”
Suara panggilan itu mengagetkannya, sontak ia tergagap, lalu bangun dari lamunan panjangnya
Suara panggilan itu mengagetkannya, sontak ia tergagap, lalu bangun dari lamunan panjangnya
“Iya
mak??”
Jawabnya
dari kejauhan
“jangan
lupa persiapkan dagangannya, kita besok harus berangkat lebih pagi. Cepat mandi
sana”
Teriak
mak Ratih dari dapur rumahnya
“iya
mak, ini aku mau mennyiapkan rombong”
Jawab
darman seraya berlalu meninggalkan pohon tempatnya bersandar. Meninggalkan serta
lamunan-lamunan panjang nan indah beberapa menit yang lalu.
Langit
sore menyisakan pendar-pendar cahanya mentari, semburat jingga menyapukan keindahan
diatas debu-debu nyata. Manusia-manusia tengah bersiap meninggalkan rutinitas
keduniaan, menyambut ritual religi.
Pohon
yang ditinggalkan Darman tadi berujar pada angin “hai, beri aku kelembutan
untuk menikmati malamku. Malam ini hamba ringkih itu akan kembali membangun
lamunannya di bawahku”, angin menjawab “tenang sajalah, kubuat kau menikmati
malam ini” dialog itu bersahutan dengn samar-samar suara sebuah panggilan,
panggilan sakral untuk yang paham. Adzan isyak berkumandang, menyeru segenap
penjuru desa.
Komentar
Posting Komentar