Cerita Saat Senja
Semburat
jingganya menyiratkan akhir. Awal kemunculannya adalah permulaan menuju gelap.
Setelah ia datang, maka manusia-manusia dengan segala bisingnya siap menenggelamkan
hidupnya ke dalam dunia lain. Saya yang tengah menikmati hari, siap
menyambutnya dengan senyum, karena memang mau tak mau ia akan tetap datang
menghampiri bumi. Aku memanggilnya senja.
Senja
kali ini berbeda, saya sedang bersama seseorang yang akan memberikan banyak
cerita tentang hidupnya. Cerita tentang kehidupannya. Di senja kali ini, hanya
sedikit dari kisah hidupnya yang panjang.
***
Pada
awalnya saya menyaksikan orang tua itu dengan biasa saja, namun lama kelamaan
ada hal unik yang muncul dari dirinya. Dia melakukan aktifitasnya demi
seseorang “saya tulus dan tanpa pamrih,” begitu katanya saat saya menanyakan
mengapa dia melakukan semua aktifitasnya itu. Setiap harinya ia hanya
menghabiskan waktu dengan menyombongkan diri, karena bisa berada diatas bumi.
Diatas pohon kelapa itu ia menumpukan harapannya demi orang-orang yang mengeluh
padanya, “aku lapar”.
“Saya
sudah puluhan tahun mas mencari kelapa. Ini tangan saya sampai setebal telapak
kaki” ujarnya sambil menunjukkan lengannya bagian dalam. Puluhan tahun dia
menyombongkan diri pada bumi karena bisa berdiri sedikit diatasnya. Sebagai
seorang pencari kelapa, dia tulus melakukan pekerjaannya. Dia mengaku bisa
memberikan pendidikan yang layak untuk anak-anaknya dari setiap butir kelapa
yang ia panen, dan kemudian dijual kepada pengepul.
“Anak
saya empat mas, yang satu anak tiri. Anak pertama istri saya dengan suaminya
yang dulu. Saya mulai mencari kelapa saat anak ke tiga saya masih kecil, dan
sampai sekarang. Anak kedua saya perempuan, sudah bisa ngasih saya uang, sudah bisa beli mobil. Ya dulu waktu kuliah, saya
mati-matian mencarikan dia uang buat SPP. Anak ke tiga saya, sekarang sudah
ngajar, dia jadi guru mas. Tinggal saya memperjuangkan anak terakhir saya, yang
juga kuliah. Tapi untungnya dia dapat beasiswa, jadi saya tinggal nambahi uang
makannya saja” Kisah bapak tua itu panjang lebar kepada saya.
Ia
kini tinggal bersama istri dan ibu mertuanya. Anak terakhirnya yang masih
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, seminggu sekali pulang ke rumah. Hal
itu membuat si bapak tua ini terkadang merasa sendiri “anak saya kan semuanya
sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri, ya tinggal anak saya yang
terakhir ini mas yang masih hidup bersama saya” begitu kata bapak berumur 60
tahun ini.
Satu
hal yang ia katakan tentang pekerjaannya, “saya bisa melihat kehidupan di bawah
dari atas pohon”. Hanya dengan menjadi seorang pemanjat kelapa, dia bisa
membanggakan dirinya “Saya lebih tinggi dari bumi mas” katanya sambil
tersenyum. Ia kini duduk disamping saya, tak jauh dari pohon kelapa yang ia
panjat. “Mas saya nglinting (menggulung)
dulu,” dia menyiapkan rokok kretek yang diraciknya sendiri. Tembakau dan
cengkeh digulung dengan kertas rokok, hingga salah satu ujungnya meruncing.
Ujung yang runcing itulah yang dimasukkan kedalam mulutnya, lalu dia membakar
sisi lainnya, kemudian menghisapnya dalam-dalam.
Mulutnya
mengeluarkan asap dan ia memasukkan seluruh kelapa yang berhasil di panen ke
dalam sebuah karung. Seolah tak ada yang menghalangi semangatnya demi
orang-orang yang ia berjuangkan. Semangat kerjanya dipaksa tumbuh demi keluarga
terkasihnya. Walaupun begitu, ia tulus dengan apa yang dilakoninya. Ia sadar
ini tanggung jawab dan kwajibannya sebagai lelaki berkeluarga. “Saya laki-laki,
tulang punggung keluarga mas, saya yang bertanggungjawab menghidupi keluarga”
katanya sambil memasukkan butir terakhir buah kelapanya ke dalam karung. Hari
ini 7 butir kelapa ia dapatkan dari 3 pohon kelapa yang berhasil dipanjatnya. “Mas
sudah sore, ayo main ke rumah,” kata pak tua itu mengagetkan saya yang tengah
melihat matahari tenggelam di ujung barat.
Setelah
bapak tua itu menaikkan karung yang berisi 7 butir kelapa tadi ke atas
sepedahnya, dia lalu mengayuh sepedah itu, dan siap bersua dengan orang-orang
yang dicintainya. Ia melaju membelakangi matahari, saya mengikutinya dari
belakang sambil memikirkan banyak hal tentang bapak ini. Senja mengantarnya
pulang menuju rumah.
***
Senja
mengakhiri hari ini. Senja kali ini memberikan cerita tentang bapak tua itu.
Masih banyak yang harus saya tanyakan padanya, lalu menuliskannya menjadi
sebuah cerita. Perlahan senja meredup, lalu gelap. Malam siap memberikan kisah
lain tentang kehidupan. Dan kisah tentang bapak itu belum berakhir.
wah,,, masih banyak kata2 yang mendramatisir. mungkin karena atar belakang penulis yang lagi galau kali ya. tapi entah, tidak tahu pastinya saya.
BalasHapussemangat terus ya kakak,,, :D
bagian mananya yang di dramatisir?
Hapus