Menulis
Menulis bagi seseorang memiliki
banyak arti. Ada yang memahaminya sebagai media untuk mengabadikan sebuah
momen, ada yang menganggap menulis sebagai terapi, menulis adalah cara
menuangkan perasaan yang paling mudah, dan banyak hal lainnya. Saya termasuk
bagian orang-orang yang juga memberikan arti sendiri tentang menulis, hingga
hal ini membuat saya berfikir, mungkin aka panjang kalau saya jelaskan dalam
sebuah tulisan.
Agak sulit untuk menggambarkan
bagaimana keadaan dan perasaan saya saat tidak menuangkan sebaris tulisan saja.
Entah saya tergolong orang seperti apa, hampir dalam setiap kondisi akan
menulis atau ditengah-tengah proses menulis, saya selalu berfikir kalau tulisan
saya akan buruk dan hal ini membuat saya enggan untuk menyampaikannya tulisan
saya itu kepada pembaca. Saat ditengah proses menulis, saya juga pernah
mengalami hal menjengkelkan, tiba-tiba saja saat tulisan saya hampir selesai,
terbersit sebuah fikiran, “tulisan ini kurang bagus”. Akhirnya yang paling
menyebalkan, banyak tulisan-tulisan saya tentang seseorang, tentang sebuah
cerita atau sekedar percikan ide, hanya berakhir dengan “menggantung”, tak
pernah selesai dan menjadi tumpukan sampah di folder laptop atau flasdisk.
Sungguh ironis. Tapi semangat dan keinginan untuk terus menulis yang saya
miliki, masih terjaga rapi ditempatnya.
Saya ingat perbincangan dengan
seorang kawan tentang menulis. Dia berkata kalau menulis itu sangat mudah,
hanya butuh bisa membaca dan menulis. “Ngapain ribet, nulis itu hanya butuh
sekali duduk” kata kawan saya. “Hal terakhir yang dilakukan adalah mengumpulkan
keberanian untuk mempublikasikannya” begitu ujarnya dalam sebuah perbincangan.
Dia juga menerangkan bahwa beberapa penulis terkenal melakuka hal yang sama. Sebenarnya
saya sedikit “tersengat” dengan perbincangan ini.
Banyak tulisan-tulisan saya yang
tak selesai. Tulisan yang kisahnya menggantung dan saya tak melaksanakan
kwajiban saya untuk menyelsaikan tulisan itu. Ada puluhan, bahkan ratusan
tulisan. Kalau dilihat dari isinya, tulisan saya hanyalah cerita dan ungkapan
yang (mungkin) kurang penting. Namun saat tulisan itu tak pernah klimaks, dan
hanya menjadi file yang terus-terusan ada didalam flasdisk dan laptop tanpa pernah dibuka, tanpa pernah
dipublikasikan, maka dia hanya sampah yang harus secepatnya dibuang. Namun
membuang pun sulit rasanya, selain tulisan itu tak selesai, ada usaha yang
harus dihargai disana.
Kembali ke perbincangan kawan
saya tadi. Jadi dalam perbincangan itu, kawan saya juga menjelaskan kalau
menulis itu hanya butuh jujur, jika setelah tulisan itu selesai, di baca lalu
ada yang menghujatnya, itu terserah kepada pembaca. Mungkin memang hanya butuh
jujur. Jujur mengungkapkan apapun dalam setiap apa yang kita tulis. Jujur
menerjemahkan proses melihat dengan mata dan memaknai dengan hati serta proses
berfikir otak. Lalu biarkan juga jemari menari di atas keyboard, hingga sebuah tulisan selesai ditulis.
Banyak hal yang saya dapat dari
perbincangan hangat dengan kawan saya itu, banyak pelajaran yang dipetik. Tapi
sepertinya memang mudah membicarakan sesuatu dan menjadikannya sebuah topik
menyenangkan dalam obrolan-obrolan tengah malam, sambil menikmati
bergelas-gelas kopi hitam serta tak lupa berbatang-batang rokonya. Tetap saja
itu tak banyak mengubah sifat menyebalkan yang sering melanda diri saya saat
menulis.
Akhirnya saya hanya bisa memakasa
diri saya agar menulis sepenuh hati, entah salah atau benar tindakan ini, saya
hanya memaksa diri ini menulis. Saya koleksi saja kata-kata mutiara nan
revolusioer macam ini; “Menulislah atau kau akan ditelan zaman”, “pengetahuan
itu seperti kuda liar, dan menulis adalah pengikatnya.” Itu saja tidak cukup
untuk melakukan pemaksaan terhadap diri saya sendiri agar menulis, menulis dan
menulis. Saya juga tidak pernah bisa lepas dari proses berfikir untuk bisa
jujur dalam tulisan-tulisan saya, atau saya banyak membaca buku agar saya juga
bisa jujur dalam menulis, paling tidak saya mengutip kejujuran orang lain.
menulis :D
BalasHapus