Puisi di Sekitarku dan Manuisa
Tetaplah Aku
Aku adalah aku
Sejauh melangkah
tak rapuh langkahku
Memandang bumi
berayun, tak gentar aku
Biar luas
membentang, tak lelah aku memandang
Inilah aku,
melayang saat angin barat datang
Diterbangkan
angan menuju penuh impian
Aku yang
sayapnya mampu membelah utara dan selatan
Aku dalam
gelapku menyilaukan harapan
Aku, kuteriakkan
namaku diantara bebatuan
Pohon-pohon
kuharap juga mendengar
Lautan tak
berombak, biarkan aku kesana
Kubuatkan kau
gelombang biar kau bersaksi atasku
Aku, jauh
harapku tentangku
Semegah dunia
ini berdiri
Tetaplah aku
yang aku
Namun aku,
Tetap saja kelu
di senja-Mu
Basah di gerimis
bulan November
Aku, tak berujar
di awal harimu
Inilah aku,
dalam diam seusai hujan,
tergelincir
lidahku
Kebingungan
Tetaplah duka
dalam hitam tak bersinar
Biar putih
membelai insan gemilang
Tetap ia
tenggelam dalam bujuk senja
Niscaya redup di
ujung gelisah
Langit mungkin
benderang
Bumi juga
kencang berlarinya
Angin pun masih
membelai daun-daun kelapa
Tapi tetap saja
hujan melabuhkan kenangan
Lalu, kemanakah
angkuh di larikan?
Biarkan dia
tenggelem,
waktu kan
merelakan
lalu, kemanakah
aku?
Biarkan
menggigil,
Sunyi kan
mengingatkan
Matinya
dirimu
Aku,
Tak pernah ada yang menjadi sepertimu
Aku hanyalah kumpulan serpihan-serpihan
Aku hanyalah aku yang tak bisa sendiri
Aku hanyalah dia yang memberitahuku waktu
Aku hanyalah kamu yang mengajariku mengeluh
Aku,
Tak ada yang aku berdiri di atas karang,
bahkan ombak kembali ke tengah lautan
Aku,
Tak ada dirimu disini
Entah mengembara kemana
Tanda-tanda magis ini melebur
Dalam kuasa kita: Aku dari sekian aku
Aku,
Seperti apa pun baumu, tak kan tercium
Aku hanyalah aku diujung jari kelingking
Aku,
Mati dalam hanyutnya tinta kuasa atas makna
Aku,
Tiada
Aku,
Duniamu bukan ‘aku’
Kau dibalik sana!
05/12/2013
Komentar
Posting Komentar