Surga Kecil dan Televisi yang Ada Disana
![]() |
Menyenangkan. Biasanya setiap
kali keluargaku dari berbagai daerah kumpul, di ruang tengah itu tempat
menjalin kebersamaan. Makan, tidur dan banyak hal menyenangkan lain yang
terjadi disana. Kecilku dulu sepertinya juga banyak dihabiskan di ruang ini.
Entah lah aku tak ingat. Barangkali sambil memberi asi, ibuku melakukannya
dengan menonton tv. Sampai sebesar ini, aku sering makan sambil nonton kartun
setiap pagi, di ruang tengah itu. Lauk apapun jadi serasa tambah enak.
Banyak tayangan televisi yang
kemudian mempengaruhiku menentukan pilihan-pilihan yang kuhadapi dalam
keseharian. Awalnya aku tak sadar, namun saat ku runut dan mulai bertanya,
kenapa aku sampai pada hal seperti ini? Ternyata tv gara-garanya, aku
terpengaruh oleh benda kotak berbicara itu. Hingga kemudian aku tahu jika
televisi itu punya dampak yang cukup lumayan jika ditonton setiap hari.
Sekarang, aku sering menonton tv
saat petang. Mulai pukul lima sore, sampai tengah malam. Banyak acara-acara
yang mencetak rating tinggi di jam-jam ini. Biasanya mulai sekitar pukul
enam sore sampai jam sembilan malam. Alasannya mungkin pada waktu ini adalah
jam istirahat dan merupakan saat yang pas untuk berkumpul dengan keluarga di
depan televisi. Setelah seharian bekerja, sore hari pulang dan menghabiskan
sisa hari bersama istri/suami, anak, dan sanak saudara yang lain. Prime Time
istilahnya.
Tapi aku heran, mulai beberapa
waktu lalu aku sedikit terganggu dengan tayangan-tayangan humor dan bercandaan
yang tayang di chanel tv swasta nasional. Beberapa channel televisi
menayangkan semacam variety show yang isinya saling ejek,
joget-joget, atau sekedar memaki penonton yang hadir disana. Apa menariknya
tayangan ini? Aku tak tahu. Barangkali karena ada drama disana. Yang kemudian
timbul lelucon, humor-humor kurang mendidik yang terkadang juga menjurus pada
hal-hal berbau porno. Padahal, aku yakin pada jam ini masih banyak anak-anak
kecil yang belum tidur.
Mungkin berlebihan aku menilai
dan menyampaikan keprihatinan. Tapi apa boleh buat, daripada nanti aku gusar
karena kepikiran? Padahal bisa selesai hanya dengan menulisnya. Jadi mari kita
bicarakan tv, yang merupakan salah satu pembentuk budaya massa.
Aku ingat, kapan hari saat aku
melihat anak tetangga sebelah yang baru berusia kurang dari tiga tahun,
menirukan salah satu gaya berjoget dari sebuah acara di salah satu stasiun tv
swasta. Menurutku itu seronok, saru dan belum pantas anak kecil ingusan macam
dia menirukan gaya berjoget seperti itu. Sambil memainkan mobil mainan,
sesekali anak tetanggaku itu juga mengejek temannya, yang jika orang dewasa
mendengar dan ditujukan untuknya, bisa saja marah.
Mungkin subjektif aku bicara
seperti ini. Tapi itu kan bagian dari etika berprilaku. Dan tak semua etika
bisa dirasionalkan, karena menilainya dengan perasaan. Etika penyiaran masih
banyak dilanggar, mungkin salah satu penyebabnya karena persoalan seperti ini.
Masalah tayangan humor yang tak
jelas itu, tak hanya satu atau dua stasiun tv saja. Beberapa di antaranya
tayang malam hari, ada juga yang tayang semenjak sore. Tayangan seperti ini
tiba-tiba saja mewabah dan menjadi semacam tren di industri pertelevisian saat
ini. Kalau ditanya manfaat dan hal-hal baik apa yang didapat dari tayangan itu,
tak akan banyak komentar masyarakat atau pembuat acara itu sendiri. Menghibur,
hanya itu. Tapi kenapa masih juga ditayangkan?
Coba kita lihat pemberitaan
televisi atau media lain beberapa waktu lalu mengenai Jokowi. Sangat ramai,
berbagai macam sudut pandang. Dari yang menghujat sampai dengan yang meng
elu-elukan sosok jokowi. Sampai di filmkan pula gubernur jakarta itu. Dampak
dari maraknya pemberitaan tentang dirinya, walaupun itu menghina dan kritik
terhadap Jokowi, akhirnya masyarakat mulai yang dari bawah sampai kalangan atas
mengenal siapa Jokowi yang suka blusukan itu, jatuhnya malah membawa citra baik
kepada Jokowi. Kita boleh muak dengan tayangan-tayangan tentangnya, tapi apa
kita bisa mencegah media untuk berhenti, stop memberitakan sosoknya? Tentu tak
bisa. Media mainstream, menyoroti persoalan-persoalan yang banyak
dibicarakan publik. Darisitu kemudian berita-berita tv akan laku keras, rating
tinggi, iklan banyak, dan tentu saja, uang juga banyak. Rating, iklan dan uang
menjadi dewa.
Sama seperti berita-berita
Jokowi, acara humor yang kubicarakan tadi juga seperti itu. Sudah menjadi tren,
dan kalau tak punya acara humor-humoran, staiun tv itu tak laku. Acara humor
itu live, berjalan tanpa edit. Salah kata, salah penampilan dan prilaku disana
pun menjadi tontonan. Kalau di Indonesia, ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai pengawas tayangan-tayangn tv, serta menegurnya kalau tv tersebuat
memberikan tayangan yang kurang pas. Ukuran pas didasarkan dari etika
penyiaran. Selama etika tersebut dilaksanakan, tayangan televisi tersebut
dianggap aman. Tapi seperti tadi kujelaskan, etika adalah soal penilaian oleh
perasaan, dan orang lain belum tentu punya perasaan yang sama.
Akhirnya masih banyak stasiun tv
yang melanggar etika itu. Sudah ditegur, nama acaranya diganti tapi isi
acaranya masih tetap saja sama. Kreatif bukan kepalang pekerja televisi itu.
Jadi sekarang harus bagaimana kalau televisi saja tak mempan ditegur, tayangan
tak mendidik masih saja menjadi tren? Kita, sebagai masyarakat yang harus bisa
menentukan tayangan yang cocok buat kita. KPI, juga harus punya peran
dimasyarakat, harus memiliki akar dikalangan bawah. Sebagai lembaga negara yang
independen dan bertugas mengamati pertelevisian Indonesia, juga wajib
menyadarkan masyarakat bagaimana memilah tayangan yang berkualitas dan
mendidik. Memang, selera penonton sendiri yang menentukan tontonan macam apa
yang ingin mereka tonton. Tapi, masyrakat yang baik tentu akan meninggalkan
tayangan-tayangn yang kurang sehat kalau saja mereka tahu dampak dari tayangan
itu.
Aku ingat, dulu aku pernah
mengikuti sebuah seminar yang di adakan kampusku saat aku masih kuliah dan baru
menginjak semester dua, kalau aku tak salah ingat. Seminar itu tentang etika
bermedia. Waktu itu pematerinya dari perwakilan KPI daerah Jawa Timur. Pak
Surya Aka namanya. Berbagai macam tayangan televisi dan radio yang pernah
ditegur ditampilkan di sana. Ditunjukkan bagian mananya yang salah. Aku ingat, Pak
Aka menunjukkan tayangan berita yang menampilkan seorang yang bunuh diri.
Seorang itu gantung diri di sebuah pintu di bagian rumahnya. Masih dengan badan
yang menggantung, mata melotot dan lidah menjulur keluar. Tanpa sensor berita
ini ditayangakan, dan kalau tak salah tayang siang hari.
Setelah berpanjang lebar
menjelaskan berbagai macam materi dan menampilkan banyak tayangan-tayangan tv, Pak
Aka menyudahi penjelasannya. Kemudian di
akhir waktunya memberi materi pak Aka memberikan nomor HP nya kepada semua
peserta seminar, dan sambil berkata “kalau misalnya anda-anda yang disini
melihat tayangan yang melanggar etika, silahkan SMS saja,” begitu kurang lebih.
Andai saja KPI pun bisa selalu memberi kabar dan mengingatkan, mungkin serupa
polisi moral, serta memberi tahu kita mana tontonan bagus dan mana yang tidak
bagus, setiap saat. Bukannya sulit menyeru pemilik media buat ngasih tayangan
berkualitas? Iya kan, orientasi mereka uang. Soal penontonnya, apa peduli
mereka.
Terserah Televisi, dan tayangan
yang ada di dalmanya. sebenarnya memang terserah mau di tonton atau tidak.
Terserah kita saja. Mengenai tayangan yang kurang mendidik, jangan-jangan hanya
aku yang merasa begitu? Ya terserah juga. Mungkin juga banyak yang biasa-biasa
saja dengan tayangan tv, dan mungkin aku terlalu lebay untuk memikirkan hal-hal
seperti ini. Ya, terserah mereka saja yang menilai. Tapi darisitu, akhirnya
ruang tengah dirumahku itu ku tambahkan fungsinya. Selain untuk nonton
televisi, ku letakkan meja dan kursi disana. Tepatnya ku letakkan dekat
jendela. Dari tempat ini aku sering baca buku dan menghabiskan sore. Tak lupa
asbak ku tambahkan di atas meja itu. Fasilitas surga itu sudah ku tambah.
Komentar
Posting Komentar