Surga Kecil dan Televisi yang Ada Disana




Ruang dibagian tengah rumahku itu serasa jadi surga yang bapakku bangun untuk keluarganya, utamanya untukku, mungkin. Dulu Setiap kali lelah setelah pulang sekolah, ruang tengah itu akan selalu jadi tujuan pertamaku sesampainya di rumah. Sederhana, disana hanya ada sebuah dipan beralaskan kasur lipat dan sebuah televisi. Rebah sambil memegang remote kontrol dan memainkannya untuk mencari chanel tv yang ku suka. Mulai chanel yang berisikan film-film hollywood tanpa jeda iklan, hingga televisi yang khusus hanya menayangkan iklan-iklan produk peralatan rumah tangga, semuanya ku tonton. Apa yang menarik? Aku tak tahu, hanya saja saat aku melakukan aktifitas di depan televisi dengan posisi seperti itu, serasa nyaman dan lelah sirna seketika.

Menyenangkan. Biasanya setiap kali keluargaku dari berbagai daerah kumpul, di ruang tengah itu tempat menjalin kebersamaan. Makan, tidur dan banyak hal menyenangkan lain yang terjadi disana. Kecilku dulu sepertinya juga banyak dihabiskan di ruang ini. Entah lah aku tak ingat. Barangkali sambil memberi asi, ibuku melakukannya dengan menonton tv. Sampai sebesar ini, aku sering makan sambil nonton kartun setiap pagi, di ruang tengah itu. Lauk apapun jadi serasa tambah enak.

Banyak tayangan televisi yang kemudian mempengaruhiku menentukan pilihan-pilihan yang kuhadapi dalam keseharian. Awalnya aku tak sadar, namun saat ku runut dan mulai bertanya, kenapa aku sampai pada hal seperti ini? Ternyata tv gara-garanya, aku terpengaruh oleh benda kotak berbicara itu. Hingga kemudian aku tahu jika televisi itu punya dampak yang cukup lumayan jika ditonton setiap hari.

Sekarang, aku sering menonton tv saat petang. Mulai pukul lima sore, sampai tengah malam. Banyak acara-acara yang mencetak rating tinggi di jam-jam ini. Biasanya mulai sekitar pukul enam sore sampai jam sembilan malam. Alasannya mungkin pada waktu ini adalah jam istirahat dan merupakan saat yang pas untuk berkumpul dengan keluarga di depan televisi. Setelah seharian bekerja, sore hari pulang dan menghabiskan sisa hari bersama istri/suami, anak, dan sanak saudara yang lain. Prime Time istilahnya.

Tapi aku heran, mulai beberapa waktu lalu aku sedikit terganggu dengan tayangan-tayangan humor dan bercandaan yang tayang di chanel tv swasta nasional. Beberapa channel televisi menayangkan semacam variety show yang isinya saling ejek, joget-joget, atau sekedar memaki penonton yang hadir disana. Apa menariknya tayangan ini? Aku tak tahu. Barangkali karena ada drama disana. Yang kemudian timbul lelucon, humor-humor kurang mendidik yang terkadang juga menjurus pada hal-hal berbau porno. Padahal, aku yakin pada jam ini masih banyak anak-anak kecil yang belum tidur.

Mungkin berlebihan aku menilai dan menyampaikan keprihatinan. Tapi apa boleh buat, daripada nanti aku gusar karena kepikiran? Padahal bisa selesai hanya dengan menulisnya. Jadi mari kita bicarakan tv, yang merupakan salah satu pembentuk budaya massa.

Menurutku, televisi sebagai bagian dari produk industri budaya, culture industry. Darisini televisi nantinya akan membentuk selera dan pilihan-pilihan hidup bagi penontonnya, yang mungkin tidak berkesadaran. Satu tontonan dan menentukan sebuah selera untuk ribuan penonton. Tidak seru jika nantinya banyak manusia yang hanya memiliki satu selera yang sama. Tapi apa sebegitu berpengaruh televisi itu?

Aku ingat, kapan hari saat aku melihat anak tetangga sebelah yang baru berusia kurang dari tiga tahun, menirukan salah satu gaya berjoget dari sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta. Menurutku itu seronok, saru dan belum pantas anak kecil ingusan macam dia menirukan gaya berjoget seperti itu. Sambil memainkan mobil mainan, sesekali anak tetanggaku itu juga mengejek temannya, yang jika orang dewasa mendengar dan ditujukan untuknya, bisa saja marah.

Mungkin subjektif aku bicara seperti ini. Tapi itu kan bagian dari etika berprilaku. Dan tak semua etika bisa dirasionalkan, karena menilainya dengan perasaan. Etika penyiaran masih banyak dilanggar, mungkin salah satu penyebabnya karena persoalan seperti ini.

Masalah tayangan humor yang tak jelas itu, tak hanya satu atau dua stasiun tv saja. Beberapa di antaranya tayang malam hari, ada juga yang tayang semenjak sore. Tayangan seperti ini tiba-tiba saja mewabah dan menjadi semacam tren di industri pertelevisian saat ini. Kalau ditanya manfaat dan hal-hal baik apa yang didapat dari tayangan itu, tak akan banyak komentar masyarakat atau pembuat acara itu sendiri. Menghibur, hanya itu. Tapi kenapa masih juga ditayangkan?

Coba kita lihat pemberitaan televisi atau media lain beberapa waktu lalu mengenai Jokowi. Sangat ramai, berbagai macam sudut pandang. Dari yang menghujat sampai dengan yang meng elu-elukan sosok jokowi. Sampai di filmkan pula gubernur jakarta itu. Dampak dari maraknya pemberitaan tentang dirinya, walaupun itu menghina dan kritik terhadap Jokowi, akhirnya masyarakat mulai yang dari bawah sampai kalangan atas mengenal siapa Jokowi yang suka blusukan itu, jatuhnya malah membawa citra baik kepada Jokowi. Kita boleh muak dengan tayangan-tayangan tentangnya, tapi apa kita bisa mencegah media untuk berhenti, stop memberitakan sosoknya? Tentu tak bisa. Media mainstream, menyoroti persoalan-persoalan yang banyak dibicarakan publik. Darisitu kemudian berita-berita tv akan laku keras, rating tinggi, iklan banyak, dan tentu saja, uang juga banyak. Rating, iklan dan uang menjadi dewa.

Sama seperti berita-berita Jokowi, acara humor yang kubicarakan tadi juga seperti itu. Sudah menjadi tren, dan kalau tak punya acara humor-humoran, staiun tv itu tak laku. Acara humor itu live, berjalan tanpa edit. Salah kata, salah penampilan dan prilaku disana pun menjadi tontonan. Kalau di Indonesia, ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pengawas tayangan-tayangn tv, serta menegurnya kalau tv tersebuat memberikan tayangan yang kurang pas. Ukuran pas didasarkan dari etika penyiaran. Selama etika tersebut dilaksanakan, tayangan televisi tersebut dianggap aman. Tapi seperti tadi kujelaskan, etika adalah soal penilaian oleh perasaan, dan orang lain belum tentu punya perasaan yang sama.

Akhirnya masih banyak stasiun tv yang melanggar etika itu. Sudah ditegur, nama acaranya diganti tapi isi acaranya masih tetap saja sama. Kreatif bukan kepalang pekerja televisi itu. Jadi sekarang harus bagaimana kalau televisi saja tak mempan ditegur, tayangan tak mendidik masih saja menjadi tren? Kita, sebagai masyarakat yang harus bisa menentukan tayangan yang cocok buat kita. KPI, juga harus punya peran dimasyarakat, harus memiliki akar dikalangan bawah. Sebagai lembaga negara yang independen dan bertugas mengamati pertelevisian Indonesia, juga wajib menyadarkan masyarakat bagaimana memilah tayangan yang berkualitas dan mendidik. Memang, selera penonton sendiri yang menentukan tontonan macam apa yang ingin mereka tonton. Tapi, masyrakat yang baik tentu akan meninggalkan tayangan-tayangn yang kurang sehat kalau saja mereka tahu dampak dari tayangan itu.

Aku ingat, dulu aku pernah mengikuti sebuah seminar yang di adakan kampusku saat aku masih kuliah dan baru menginjak semester dua, kalau aku tak salah ingat. Seminar itu tentang etika bermedia. Waktu itu pematerinya dari perwakilan KPI daerah Jawa Timur. Pak Surya Aka namanya. Berbagai macam tayangan televisi dan radio yang pernah ditegur ditampilkan di sana. Ditunjukkan bagian mananya yang salah. Aku ingat, Pak Aka menunjukkan tayangan berita yang menampilkan seorang yang bunuh diri. Seorang itu gantung diri di sebuah pintu di bagian rumahnya. Masih dengan badan yang menggantung, mata melotot dan lidah menjulur keluar. Tanpa sensor berita ini ditayangakan, dan kalau tak salah tayang siang hari.

Setelah berpanjang lebar menjelaskan berbagai macam materi dan menampilkan banyak tayangan-tayangan tv, Pak Aka  menyudahi penjelasannya. Kemudian di akhir waktunya memberi materi pak Aka memberikan nomor HP nya kepada semua peserta seminar, dan sambil berkata “kalau misalnya anda-anda yang disini melihat tayangan yang melanggar etika, silahkan SMS saja,” begitu kurang lebih. Andai saja KPI pun bisa selalu memberi kabar dan mengingatkan, mungkin serupa polisi moral, serta memberi tahu kita mana tontonan bagus dan mana yang tidak bagus, setiap saat. Bukannya sulit menyeru pemilik media buat ngasih tayangan berkualitas? Iya kan, orientasi mereka uang. Soal penontonnya, apa peduli mereka.


Terserah Televisi, dan tayangan yang ada di dalmanya. sebenarnya memang terserah mau di tonton atau tidak. Terserah kita saja. Mengenai tayangan yang kurang mendidik, jangan-jangan hanya aku yang merasa begitu? Ya terserah juga. Mungkin juga banyak yang biasa-biasa saja dengan tayangan tv, dan mungkin aku terlalu lebay untuk memikirkan hal-hal seperti ini. Ya, terserah mereka saja yang menilai. Tapi darisitu, akhirnya ruang tengah dirumahku itu ku tambahkan fungsinya. Selain untuk nonton televisi, ku letakkan meja dan kursi disana. Tepatnya ku letakkan dekat jendela. Dari tempat ini aku sering baca buku dan menghabiskan sore. Tak lupa asbak ku tambahkan di atas meja itu. Fasilitas surga itu sudah ku tambah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Langit

Kenikmatan Pagi Hari