Potret Kartini dan Lawan Baru Feminisme
Waktu itu, di era sekitar 1970-an hingga 1980-an, banyak film
Indonesia yang sengaja memposisikan perempuan hanya sebagai pelengkap
dalam cerita. Jika perempuan dikisahkan sebagai pemeran utama, peran itu
kerap berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup
kehidupan lokal, sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak yang penurut.
Sebaliknya pada laki-laki, peran yang ditampilkan selalu berkaitan
dengan aktivitas di lingkungan publik, seorang yang mengambil dan
menghasilkan keputusan masuk akal. Tapi perlu diingat, waktu itu Kartini
juga ‘dihidupkan’ kembali.
Dia hidup dalam sebuah film yang disutradarai oleh Sjumanjaja. Di
sana tampil sosok Kartini yang tertindas. Sewaktu hidup, kebebasan
Kartini dikekang oleh ideologi patriarki yang sangat kental dalam budaya
Jawa. Kaum wanita menjadi objek kehidupan laki-laki. Kartini muncul
sebagai sosok revolusioner yang berjuang untuk kaumnya. Dia menuntut
kesetaraan. Begitulah film itu menjelaskan. ‘R. A. Kartini’ adalah
sebuah film drama perjuangan Indonesia, yang diproduksi tahun 1982. Kini
film itu dan 21 April menjadi sebuah monumen. Memberi semangat para
ibu, kaum remaja, dan mengingatkan segenap kaum lelaki untuk menghormati
dan menghargai wanita. Sekali lagi Kartini hidup.
Sosoknya yang masih membayang sampai saat ini tak lain karena semasa
hidupnya dulu, Kartini dibekukan oleh sebuah kehidupan. Dia tumbuh di
tengah masyarakat yang terbiasa menempatkan perempuan di posisi kedua
dalam ruang publik. Hingga kemudian melalui Rosa Abendanon, Stella Zeehandelaar, temannya berkirim surat, dan lewat
para sahabatnya yang lain. Kartini mendapatkan buku, majalah, dan koran
terbitan Eropa yang mengajarinya cara berfikir luas. Surat-menyurat
menghancurkan belenggu besar yang dihadapinya. Dari situ pandangan
kritisnya terhadap budaya masyarakat Jawa di tempat dia hidup, muncul.
Membawa Kartini pada sebuah pemikiran, bahwa bukan hanya sekedar masalah
kedudukan perempuan yang buruk pada waktu itu. Akan tetapi dia melihat
bagaimana pengaruh sebuah sistem terhadap kehidupan masyarakat di
sekitarnya. Akhirnya kebekuan itu, justru mengantar Kartini pada sebuah
kesadaran.
Door Duisternis Tot Licht atau yang lebih kita kenal: Habis Gelap Terbitlah Terang,
adalah yang membuat Kartini ‘hidup’ kembali melebihi masa hidupnya yang
pendek. Pemikiran yang tertulis di sana, menggambarkan seorang
pembelajar pengetahuan modern. Di sisi lain menjadi bukti daya kritis
Kartini untuk melawan kekangan sistem feodal, yang kala itu menghambat
kemajuan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Kartini adalah potret anak zaman yang durhaka. Dia melawan zamannya.
Sosok yang besar di Jepara dan tak pernah jauh dari rumahnya ini, tak
banyak melihat kehidupan luar. Kedurhakaan itu membawa Kartini menjadi
sosok pendobrak. Dia dapat melihat bahwa zaman yang sedang
membesarkannya adalah sebuah jalan gelap.
Kini setelah kematiannya, dia masih menjelma lewat 21 April. Memberi
tahu bahwa, dia dengan pemikirannya tentang emansipasi, muncul karena
sebuah kondisi yang kritis. Zaman itu memang sedang butuh sosoknya. Dia
dan kaumnya masih harus berjuang.
Sekarang ini, para feminis masih harus membangun kesederajatan dan
konstruksi kemanusiaan. Banyak perempuan diperjualbelikan. Dieksploitasi
sedemikin rupa untuk memuluskan sebuah komoditas yang dipasarkan.
Sebuah produk akan lebih laris kalau ada wanita yang menantang. Sebotol
minuman misalnya akan lebih nikmat jika memperlihatkan sedotan wanita.
Terjadi penumpukan modal oleh kelas tertentu atas kelas yang lain.
Akhirnya muncul tindakan penguasaan secara material oleh kelas yang
memiliki modal tersebut. Asmaeny Azis, dalam bukunya, Feminisme
Profetik, mengatakan bahwa konstruksi kelas ini ternyata menyebabkan
terjadinya eksploitasi perempuan. Perempuan adalah kelas yang
dimarginalkan oleh konstruksi kelas tersebut. Konstruksi kelas adalah
wacana kolonial atas tubuh perempuan yang harus dibebaskan. Sehingga
feminis zaman ini, (seharusnya) muncul dari kekecewaan atas dominasi
tersebut.
Setiap kali kita menengok media massa, disana selalu ada iklan yang
‘menggunakan’ perempuan untuk berjualan. Barangkali benar apa yang
dikatakan Feminis sosialis, Zoonen dan Steeves, yang menganggap media
massa adalah medium utama untuk menyampaikan stereotip patriarkal dan
hegemoni mengenai feminitas. Media massa menampilkan kapitalisme dan
skema patriarkal, hal ini dianggap sebagai sistem yang paling menarik
yang pernah ada. Selain itu mungkin juga, menjadi lawan baru untuk
gerakan emansipasi.
Berlaku tanpa mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah
pembongkaran wacana feminisme ditegakkan. Sosok Kartini menjadi efektif
karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistem
yang bergerak secara diskriminatif.[]
Tulisan ini juga dimuat disini
Komentar
Posting Komentar