Perjalanan Pendek

Kehidupan, rangkaian permulaan yang berjalan perlahan menuju proses hingga perlahan akan direnggut oleh sebuah akhir. Kehidupan adalah sebuah perjalanan. Budhha, adalah petualang sejati. Perjalanan yang ia tempuh, menuju sebuah akhir yang suci: kebenaran. Memulai perjalanan, sama saja mengumpulkan segala keberanian yang tersusun di hari-hari kemarin, menjadi sebilah pisau yang akan menumpulkan ragu dan ketakutan di masa depan.
***

Kemarin, pada 13 Juni, saya bersama dua orang kawan mencoba sebuah perjalanan pendek. Hitungan jaraknya dari tempat awal kami, tak sampai sepuluh kilometer menuju tempat yang ingin kami tuju. Sederhana, saya memaknai perjalanan yang sekilas itu sebagai sebuah simulasi untuk perjalanan yang lebih panjang. Pendeknya jarak yang saya, dan dua kawan saya tempuh adalah miniatur dunia nyata nantinya.

Siang itu, saya masih bermalas-malasan di depan laptop. Sekedar memandangi dinding facebook yang penuh limbah informasi. Di depan saya, tak seberapa jauh, dua kawan saya mengobrol. Yang mereka perbincangkan mengenai kemalasan yang akhir-akhir ini melanda hidup kami. Setiap hari hanya sosial media yang kami lihat geliat keramaiannya. Hingga saya, mungkin juga kawan saya itu, muak. Benar-benar muak! Sampai seorang kawan mengajak pergi ke suatu tempat. “Bosan di sini terus, ayo jalan-jalan. Kita ke Gumuk Kerang,” begitu katanya.

Waktu itu, saya masih tak terlalu perduli. Sampai akhirnya saya benar-benar tahu kalau saya sedang bosan. Saya paham, jika saya ikut kawan saya itu pasti saya akan capek. Selain sedang menjalankan puasa, saat itu memang pada siang hari. Walau pun tak terlalu panas, akan cukup membuat kita haus jika berjalan beberapa kilometer di waktu siang seperti itu. Gumuk Kerang, adalah sebuah bukit kecil di Jember. Salah satu dari sekian gumuk yang dieksploitas untuk diambil keuntungannya. 1000 Gumuk di Jember, hanya tinggal beberapa ratus saja. Ini akibat eksploitasi yang dilakukan para manusia rakus.

Akhirnya, dimulailah perjalanan pendek itu. Celana jeans, kaos putih dan sebuah topi, jadi pilihan penampilan saya waktu itu.

Kaki kami memulai perjalanannya. Mula-mula kami melwati kampus Universitas Jember (UJ). Sambil sesekali melempar canda, kami terus berjalan mengamati sekitar. Ruang obrolan kami di sepanjang jalan itu, biasanya seputar masa lalu atau masa depan yang gagal dijemput. Sesekali curhat, dan saling ejek. Kami bertiga, barangkali menjadi makhluk-makhluk paling manis di siang itu. Dan kaki kami tiba-tiba berhenti.

Salahsatu sudut Fakultas Pertanian UJ yang dipenuhi sampah
Dokumentasi: Dian Teguh WH
Tempat itu adalah sudut Fakultas Pertanian Universitas Jember. Yang membuat kami berhenti, karena di sana ada sampah yang menggunung. Kami tak tahu, apa di sana memang tempat pembuangan sampah para petugas kebersihan? Entah lah, pandangan kami terganggu dengan hal itu. Yang kawan saya lakukan dalam pemberhentian itu, mengabadikan ketidaknyamanan yang kami alami ini. Kawan saya mengambil satu-dua gambar.

Sampai di situ, perjalanan kami lanjutkan. Obrolan kita berubah, kami banyak mengutuk orang-orang yang membuang sampah di sana. Seperti tak ada tempat lain saja, pikir kami. Tapi kita tahu harus sampai mana menghardik oknum-oknum tidak bertanggungjawab itu. Dan yang penting, perjalanan kami masih berlanjut. Belum terlihat gurat kelelahan di antara kami bertiga. Sandal yang saya pakai sudah sedikit licin dipakai, telapak kaki saya sudah sedikit berkeringat. Syukur, ucap saya dalam hati. Baru kali ini selama bulan Ramadahan ini, saya melakukan aktivitas hingga berkeringat.

Pintu kecil di ujung jalan sudah mulai terlihat, di sana adalah batas kampus Unej dengan pemukiman warga. Dari sana, perjalanan masih panjang, dalam hitungan langkah kecil kaki kami. Berjalan terus, dan sampai lah kami bertiga di jalan raya. Selanjutnya kami menyusuri trotoar. Saya tahu, akan banyak kehidupan pinggir jalan yang akan saya simak setelah ini. Jalan sungguh lengang, jalan Jawa, menurut saya bagian paling ramai dari kehidupan lalu lintas di sekitaran kampus UJ. Biasanya, kemacetan paling parah terjadi di jalan ini. Tapi siang ini, sungguh lengang. Perjalanan kami pun, saya rasa akan lebih mudah.

Kaki ini masih tanpa hambatan mengekor di belakang kedua kawan saya. Sampai akhirnya kami sampai di sebuah Jembatan. Maafkan saya kalau tak tahu itu Jembatan apa. Tapi yang jelas, terletak di Jalan Jawa. Lagi-lagi secara visual, mata kami jadi korban. Menyaksikan tumpukan sampah di sana. Dari atas Jembatan, jelas sampah-sampah itu terlihat. Kawan saya tahu apa yang harus dia lakukan. Smartphone miliknya, dia fungsikan untuk mengabadikan apa yang kami lihat waktu itu. Setelah selesai, kembali perjalanan dimulai.

Perempatan kami lewati, setelah dari sana, kami berpapasan dengan penjual buah semangka. Buah itu seperti melambai pada saya. Entah bagaimana perasaan kawan saya melihat buah segar itu. Yang jelas, kata dia “Wah seger itu. Ada semangka, susu kedelai. Pas ini.” Ya, di sebelah penjual semangka itu ada penjual susu kedelai. Sungguh, itu mungkin bagai cobaan. Tapi ya sudah lah, itu tak boleh mengganggu perjalanan kami.
Bapak tua di depan kantor Prosalina
Dokumentasi: Dian Teguh WH

Sampailah di depan Prosalina. Ada bapak tua, sepertinya pedagang. Dia mengenakan baju lusuh dan topi rimba. Dia duduk dan menunduk. Dia mungkin juga berpuasa, dan saat itu sedang melepas lelah. Itu perlu diabadikan, dan kawan saya melakukan itu. Selanjutnya, kami lanjutkan.

Di belakang gedung prosalina ini, adalah tempat yang kami tuju, Gumuk Kerang. Tapi, kami harus melewati perkampungan di sana. Sebelum perkampungan, yang kami lewati adalah gang sempit. Jika kita berjajar dua orang, maka akan saling terhimpit dan tak bisa jalan.

Sampai di situ, masih belum ada yang tampak lelah dari kami bertiga. Walaupun saya, sudah sangat sering meludah. Pertanda sedang haus. Tapi saya tahu, saya akan melanjutkan sampai bedug maghrib nanti.

Lagi-lagi saya sedikit heran, siang itu perkampungan sangat sepi. Nyaris tidak ada orang. Hingga kami bertemu ibu-ibu yang habis menjemur pakaian di samping rumahnya. “Ini ke Gumuk Kerang bisa ya bu lewat sini?,” ujar kawan saya yang dari awal perjalanan bertindak sebagai fotografer. “Iya bisa nak,” jawab ibu itu. Setelah mengucap terima kasih, kami lanjutkan lagi perjalanan yang tinggal sedikit.

Setelah perkampungan itu, sampailah kami di kaki gumuk. Salah seorang kawan saya, katanya dia pernah ke sini. Tapi dia lupa lewat jalan yang mana. Akhirnya kita coba-coba mencari jalan untuk naik ke atas gumuk, namun nyasar. Di kaki gumuk itu, ada kamar mandi. Kamar mandi itu dipakai untuk mandi warga. Dan saat kami akan naik ke gumuk, ada orang yang sedang mandi. Tak ingin mengganggu privasinya, kami lewat jalan yang lain, dan akhirnya, nyasar!
Makam yang kami temui saat akan menuju Gumuk Kerang
Dokumentasi: Dian Teguh WH

Lewat jalan lain itu, kami berpapasan dengan ibu dan kedua anaknya selesai mandi. Di tubuh mereka melekat handuk, dan di tangan ibu itu memegang ember kecil. Mungkin dia selesai mencuci. Di belakang ibu itu, mengekor dua anaknya. Gadis kecil itu seumuran anak SD, dan yang bersamanya adalah adik laki-lakinya berumur kurang dari tiga tahun. Padanya kami bertanya, “Dek ke Gumuk Kerang lewat sini bisa ya?,” Tanya kawan saya yang memotret setiap beberapa jengkal perjalanan kami. “Iya, bisa mas,” jawabnya. “Katanya sih,” lanjut gadis kecil itu lagi.

Gadis itu tak yakin dengan jawabannya. Kawan saya yang satu menimpali kepada kawan saya yang memotret “Gadis itu bener, dia tak pernah mendaki Gumuk Kerang,” katanya. Dan kami terus berjalan, sampai kami menemukan sebuah jalan yang kami yakini bisa membawa kami mendaki Gumuk Kerang ini. Tapi, jalan yang kami lewati ini, berbatu. Batu-batu di sepanjang jalan ini seperti sengaja ditumpuk. Jalan ini terdiri dari batu-batuan kecil. Saya, sudah agak kelelahan. Ditambah jalan berbatu ini menyulitkan kami bertiga untuk sampai tempat tujuan.

Sampailah kami di sebuah jalan menanjak, yang siap mengantar kami ke tempat yang kami tuju. Kawan saya bertanya, dan mungkin menegaskan kepada kami “Siap?!,” katanya. “Siap!,” kata kawan saya yang memotret. Saya tak mau kalah “Ayo!,” sahut saya.

Kami memulai pendakian. Medan terjal berbatu, tak ada pohon di pinggiran jalan itu untuk kami berpegangan. Pelan-pelan kami mendaki. Kawan saya yang paling depan sesekali melihat ke bawah, memastikan dua kawannya berhasil menyusulnya. Sedikit ke atas, semakin menanjak. Saya yang paling terakhir. Dua kawan saya tertawa menyebalkan melihat saya yang tertatih berjalan. Kami terus berjalan dan berjalan. Hampir saja saya jatuh karena tersandung batu.

Di depan kami, rerumputan yang cukup lebat. Membuat saya menebak-nebak, apa yang ada di balik rerumputan itu. Saya membenarkan letak topi saya, dan menunduk memandang kaki. Memastikan tak ada luka.

Sampailah kami di balik rerumputan lebat itu. Dan sedikit lagi tanjakan, kami sudah sampai di tempat yang cukup datar. Entah itu ketinggian berapa. Tapi, kami sadar tempat ini jadi tempat paling nyaman dan indah untuk melihat lanskap Jember.

Ya, kami sudah sampai.

Ulil dan saya yang sedang menikmati pemandangan
Dokumentasi: Dian Teguh WH
Saya mengambil tempat duduk, dari sana saya bisa memandang lepas kota Jember. Lama saya memandang. Di belakang saya duduk, kawan-kawan saya sudah mengabadikan momen. Mereka bergembira atas apa yang sudah mereka tempuh. Saya duduk, dan menikmati tiap ujung bangunan. Genteng-genteng rumah warga, lalu lalang kendaraan, pohon-pohon yang terselip di antara bangunan. Semua indah.


Setelah itu, ganti saya yang ikut berfoto bersama ke dua kawan saya. Kaki saya sudah sampai setinggi ini. Udara yang kami hirup sudah sesegar ini. Bangunan dan jalanan kota Jember, kita nikmati dengan cara yang lain. Dari sini, di ketinggian Gumuk Kerang.

Pemandangan Jember dari atas Gumuk Kerang
Dokumentasi: Dian Teguh WH

***

Buddha mebuktikan betapa pentingnya perjalanan. Inti dari petualangan Sidarta Gautama, adalah pada penyerahan diri di dalam latar belakang masyarakat dan zamannya. Dengan menjadi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma. Perjalanan, sependek apapun itu, yang terpenting adalah penyerahan diri. Hingga tempat pijakan akhir nanti. Jalan berkerikil, sepi-sepi dan setapak jalan yang terjal, adalah kesulitan yang diredam pasrah. Bila ini gagal dilewati, mustahil perjalanan yang sudah dimulai itu memiliki tujuan yang tulus.



Jember, 14 Juli 2014


01.59

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Langit

Kenikmatan Pagi Hari