Ziarah dan Cerita Si Mbah


Sumber gambar: http://hiburan.metrotvnews.com
Ziarah adalah film lugu dengan alur cerita dan ide brilliant dari seorang B.W Purba Negara. Dikisahkan mbah Sri adalah seorang istri veteran perang, istri dari seorang Pawiro Sahid, yang sudah meninggal puluhan tahun lalu. Tapi sayang, makamnya tak diketahui sang istri, hingga mbah Sri memutuskan untuk berkelana mencari makam suaminya. Ini adalah ide awal dari film ziarah, dari ide ini kemudian berkembang banyak hal, cerita tentang cucunya yang kebelet kawin, cerita orang yang gantung diri karena mengetahui pasangannya selingkuh puluhan tahun lalu, dan banyak kisah yang mengiringi perjalanan mbah Sri mencari peristirahatan terakhir suaminya. Mbah Sri hanya yakin satu hal, sepasang suami istri yang terpisah oleh kematian, akan bisa bersatu kembali setelah sama-sama berbaring di tanah yang sama. Dimakamkan di tempat yang sama.

Sepanjang film, Ziarah menghadirkan cerita-cerita dari orang terdahulu. Banyak orang tua yang suka bercerita di sana, dengan semangat dan tanpa ragu menceritakan semua yang pernah dia alami, seolah peristiwa itu memang benar terjadi. Kita diajak berziarah, dan pesan yang paling kuat dari film ini bahwa masa lalu adalah pelajaran berharga, kunjungilah masa itu sebagai pelajaran. Seperti mbah Sri, yang akhirnya menemukan kenyataan pahit bahwa suaminya telah bersanding dengan makam yang lain, berbaring di tanah dengan pasangan yang lain. Yang dilakukan mbah Sri hanya pasarah, dan ia mampu berdamai dengan masa lalu. Seolah pencarian yang ia lakukan untuk melihat nama suaminya tertulis di sebuah nisan, dengan perjuangan melewati bukit, menyusuri sungai, itu bukanlah bentuk pengorbanan. Menahan rindu puluhan tahun dengan sang suami yang telah tiada, itu bukan pengorbanan, itu adalah bagian dari cinta yang ia yakini. Itu adalah perjalanan.

Melihat film ziarah, membuat saya ingat dengan bermacam cerita dari para otang tua yang pernah saya jumpai dalam hidup saya. Salah satunya mbah Ramelah, Ibu dari ibu saya. Mbah Ram menghabiskan masa muda dan gadisnya di sebuah dusun bernama Keraton, desa Blater kecamatan Ambulu, Jember. Mbah Ram suka sekali bercerita, waktu dan peristiwa yang ia pernah jalani seringkali diceritakan kepada saya, cucunya. Cerita yang sering saya dengar darinya, adalah kisah menjelang kelahiran ibu saya. Saya selalu rindu mendengar kisah dan dongeng magis dari mbah Ram. Namun si mbah sudah meninggal sekira 6-7 tahun yang lalu, di usia seratus tahun kurang seratus hari.

Kisah itu selalu diawali dengan kalimat “mbah Kaderi kuwi hebat le”. Dia adalah suami mbah Ramelah, mbah Ram menceritakan bahwa mbah kaderi ini adalah seorang tentara di zaman dahulu. Belanda selalu takut padanya, ketika bertemu mbah Kaderi, orang-orang belanda selalu menundukkan kepala, “Mbahmu kuwi nduwe sikep,” kata mbah Ram. Suatu saat mbah Kaderi didatangi kucing yang besarnya seukuran anak sapi, “kucinge gedi le, sak mbeng”. Mbeng adalah istilah jawa untuk anak sapi. Kucing itu ndusel di kaki mbah Kaderi, dan mengeong terus terusan, seperti ada yang akan disampaikan. Setelah itu, mbah Kaderi memberi tau seluruh anggota keluarga untuk lari mengungsi. Saat itu cuaca sedang cerah dan tidak ada tanda-tanda akan hujan, dan mbah Kaderi bilang akan ada banjir dahsyat. Seluruh anggota keluraga tidak ada yang percaya, termasuk mbah saya. “Mosok panas-panas ngene arep ono banjir,” kata mbah Ramelah. Meskipun begitu, seluruh anggota keluarga menuruti apa kata mbah Kaderi. Semua anggota keluarga waktu itu ngungsi ke kuburan.

Tidak lama berselang, banjir bandang datang. Mbah Ram dalam kondisi hamil ibu saya. “Gunung Bajing mbledos,” kata mbah saya. Banjir bandang yang datang memporak porandakan apa pun. Di tengah kepanikan semacam itu, mbah Kaderi mencari-cari kucing yang sebelum banjir tadi mendatanginya. Mbah saya menceritakan bahwa kucing itu jadi ular besar, tapi mati karena banjir tersebut. Hingga akhirnya setelah banjir reda, mbah Kaderi dan warga sekitar memakamkan ular tersebut. Ular itu perwujudan mbah ratu, kata mbah Kaderi. Setidaknya begitu mbah Ram menceritakannya kepada saya.

Banjir itu memutus sebuah jembatan besar, dan kejadian tersebut mengilhami si mbah saya untuk memberi nama ibu saya. Ibu saya diberinya nama Sudami, yang artinya “Dam”. Dam yang pada wktu itu putus karena banjir. Mbah Ram menceritakan bahwa ular itu merupakan mbah ratu yang mendiami wilayah sekitar mbah saya tinggal, hal itu akhirnya menjadi awal lahirnya desa Keraton. Mbah saya menceritakan kisah ini berulang-ulang, meyakinkan kepada saya bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Makam mbah ratu sampai kini masih ada. Dulu waktu saya masih kecil, makam itu ramai diziarahi warga sekitar setiap malam jumat.

Mbah Sri dalam film ziarah, orang tua yang suka bercerita soal masa lalu yang pahit, juga mbah Ramelah, adalah pelajaran berharga bahwa hidup itu dinamis. Bergerak tidak berhenti.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Langit

Kenikmatan Pagi Hari