Wanita-wanita


Setiap perempuan, siapapun dia,
dapat membuat seorang lelaki,
siapapun dia, menjadi seorang pria sejati.
-Putu Wijaya-

Dia yang darahnya mengalir di tubuhku, yang peluhnya menetes dalam semangatku dan kasih sayangnya yang memaksaku ikhlas tumbuh bersama waktuku.

Raut wajahnya kini tak seperti dulu, saat aku masih belum bisa membuang ingusku sendiri. Dia tak terlalu renta, namun masih berwibawa dan lembut tuturnya. Berjalannya kini pelan, tak seperti dulu saat ia masih bisa mengejarku yang tengah asik bermain, dan hampir saja kendaraan bermotor menabrakku dari belakang saat aku berlarian di jalan. Bicaranya kini setengah berbisik, tak seperti dulu yang tawa kerasnya bisa membuatku tertawa juga. Yang tak berubah dari wanita 60-an tahun itu, masakannya masih bisa menggoyang lidah. Saat aku jauh darinya, selain binar wajah dan tegak tubuhnya, adalah masakan sederhananya yang kurindu. Urap-urap sepesial buatannya selalu menungguku di meja dapur, dan dia menyiapkan itu semua saat mendengar kabar anaknya akan pulang.

Dialah wanitaku, kupanggil ibu, wanita yang kutempatkan pada urutan pertama  dari beribu wanita yang kukenal dan kulihat. Sembilan bulan dia nggembol aku di perutnya, perjuangannya mengeluarkanku dari kandungannya hingga nyawa ia pertaruhkan, balutan kasih sayang dan ketelatenan membesarkan anak lelakinya ini, tak ada alasan buatku untuk tidak mengagungkannya. Bahkan Tuhan sendiri meletakkan surga di bawah ia berdiri, ditelapak kakinya. Wanita itu Ibu.

***

Terlahir sebagai wanita satu-satunya dalam keluarga, membuatnya menjadi wanita istimewa yang selalu dijaga dan dielu-elukan semua saudara prianya. Hanya dia dan ibu yang berjenis kelamin perempuan. Kesamaan ini yang membuat ibu seperti lebih membelanya dibanding anak-anaknya yang lain, tapi mungkin juga tidak.

Perjuangan orang tuanya, membawa dia sukses berkarir. Sempat terseok-seok orangtuanya untuk mendanainya sekolah dan menempuh bangku kuliah, tapi semangat dan kemauannya untuk hidup prihatin, membuatnya sukses melalui itu. Kini dia sudah bersuami, memiliki rumah sendiri dan seorang anak laki-laki yang manis, hasil buah cintanya. Kini dia sedang bersiap-siap untuk anak keduanya, dia mengandung tujuh bulan. Kata dokter, anaknya perempuan. Selamat.

Tak bisa sangat detil menjelaskan bagaimana perjuangannya dulu menempuh pendidikan dan menjalani hidup bersama teman-temannya, dia sebagai anak yang dipandang kurang mampu oleh teman-temannya, walaupun temannya tetap bersikap baik. Ibu pernah cerita suatu saat, saudara perempuan itu selalu dipergunjingkan tetangga. “Udah jelek, tapi kemayu,” kata ibu menirukan kata tetangga itu. Dan yang paling membuat ibu miris, kata tetangga yang seperti ini “apa laku wanita seperti itu”. Tapi sekarang terbukti, kehidupannya sama sekali lain. Ia kini hidup bahagia, dengan suami dan anak yang dicintainya. Yang membuatnya bahagia, ia bisa membahagiakan dan memperjuangkan keluarganya. Ibu yang selalu dicintainya, kini juga selalu bersyukur karena bisa mambawa anak perempuannya bisa lebih bahagaia. Dia wanitaku, saudara perempuanku. 

***
                                                                                                               
Saat membicarakannya, entah kenapa aku selalu membayangkan ada di tengah-tegah padang pasir, dan  disana aku melihat ada satu bunga tumbuh, ia tak pernah layu. Setaiap aku melihat bunga itu, aku selalu meyakinkan perasaan dan logikaku, bahwa itu bukan fatamorgana. Bunga itu tumbuh, menjadi pemandangan paling segar di tengah panasnya lautan pasir itu. Yang selalu menjadi pertanyaan di benakku saat melihatnya, bagaimana bunga itu tumbuh tanpa air?.

Dia berwarna merah darah, tangkainya berwarna hijau. Kelopak bunganya ada lima, satu kelopaknya kering namuan tak mau lepas darinya. Dia tumbuh sendiri disana, melawan sepi dan dingin, panas dan hujan. Tapi tetap dia tumbuh. Setiap kelopaknya seperti memiliki arti, tentang bunga-bunga yang pernah tumbuh bersamanya dan kehidupan dunianya. Terkadang bunga itu seperti menunduk, meratapi kerapuhannya, kesendiriannya dan ketakutannya. Meskipun begitu, tak ada keinginan sedikitpun untuk layu, dia tetap ingin tumbuh tinggi dan selalu mekar. Tumbuh tinggi walaupun tak terlalu berisi.

Aku yang selalu dari jauh melihatnya, tak berani mendekat pada bunga itu, takut gerakakanku membuat akarnya tercabut atau sedikit menyentuhnya lalu tangkainya patah. Satu kelopaknya yang kering, tetap tak mau lepas saat badai gurun menerjang. Bunga itu tetap kokoh berdiri. Lalu kenapa aku takut mendekatinya? Badai saja tak membuatnya jatuh. Tapi tetap saja aku takut, takut kedatanganku mengagetkannya.

Akhirnya kuberanikan diri mendekat dengan membawa sedikit air di dalam sebuah mangkuk kecil. Pelan aku melangkah, dan saat dekat, ternyata aku benar-benar melihat keindahan bunga itu. Kusiramkan air padanya, sepertinya dia senang. Aku duduk di dekatnya, lekat aku memandang seluruh bagiannya. Sepertinya dia bunga dari pulau tengah. Aku mengamati satu kelopaknya yang kering, sepertinya kelopak itu sudah mati, namun tak mau lepas dari tuannya. Kelopak yang lain juga kucermati, ada satu kelopaknya yang bersinar lain. Kelopak yang lainnya bersinar lebih terang. Kelopak lainnya lagi sinarnya hijau, lau kelopak yang terakhir sinarnya redup, tapi sepertinya sinar redupnya tak akan padam dan akan terus berusaha dibuat terang oleh tuannya. Kelopak dengan sinar lain tadi, kini lebih kudekatkan pandang padanya “kelopak itu kamu,” kaget aku dibuatnya, bunga itu bersuara. “Bawa aku pergi dari sini, rawat aku di taman samping rumahmu,”. Namun sebelum aku membawanya, dia bersuara lagi “aku disini tumbuh karena kelopak-kelopakku, mereka itu cinta,”. Aku tersenyum, lalu dengan sangat hati-hati bunga itu kubawa. Aku berjanji merawatnya.

Sejak itu, bunga yang tumbuh di padang pasir dan setiap hari kulihat dari jauh, kini dia tumbuh di taman kecil samping rumahku. Kusirami setiap hari. Suatu saat, aku ingin membuang kelopaknya yang kering dan mati, namun tetap tak bisa aku melepasnya “biarkan kelopakku yang kering itu,” begitu suara bunga memberi tahuku agar membiarkan satu kelopaknya yang kering tumbuh bersama kelopak yang lain.
Dia wanitaku, bungaku yang tumbuh di taman kecil samping rumah.

***

Para wanitaku yang lain, dia berjumlah belasan. Beberapa diantaranya ada yang tinggi dengan logat jawanya yang kental. Ada yang berkulit putih, bersuara lembut, tatapannya teduh namun tajam. Ada yang hidupnya selalu senang, suaranya yang menggelikan, tingkahnya yang lucu, namun memiliki wibawa dan keanggunan lain dibanding beberapa wanita yang bersamanya. Ada yang menyembunyikan kelam dibalik tingkah konyolnya, dia selalu menyembunyikan sakit dan kelemahannya, wanita dengan tatapan memelas namun penuh arti. Beberapa wanita yan lain hidup dalam sangkar suci. Hari saat mengingat mereka semua, saat itu juga terbayang betapa sibuknya sebuah dunia. 

Mereka semua adalah burung pipit, namun mampu mencengkeram sekuat garuda. Kelak dengan itu, mereka akan membawa sebuah mimpi terbang ke atas langit, bersama-sama. Mereka wanitaku. Yang harus kuasah cakar-cakarnya.

***

Makhluk yang lain, masih belum ada ruang untuk membicarakannya. Atau aku yang terlalu berlebihan, bukankah memang mereka tak mau kubahas?

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Langit

Kenikmatan Pagi Hari